Selasa, 30 Desember 2014

Manfaat Wayang

Pendidikan Budi Pekerti Anak

Wayang dapat dijadikan sarana pendidikan budi pekerti luhur yang efektif bagi anak-anak. Dalam pementasan wayang terdapat bentuk-bentuk ajaran moral yang lengkap dan kemudian dibakukan dalam bentuk sanepa, piwulang, dan pituduh bagi kehidupan manusia untuk mencapai kehidupan dalam suasana kedamaian. Dengan demikian, wayang merupakan cerminan falsafah hidup orang Jawa atau dengan kata lain wayang merupakan ungkapan filsafat Jawa.
Pesan-pesan moral dalam masyarakat Jawa yang disampaikan lewat media seni wayang dapat berupa ungkapan-ungkapan tradisional yang mengandung makna pendidikan moral yang sering disebut sebagai adiluhung. Ungkapan tradisional seperti sing becik ketitik sing ala ketara (yang baik kelihatan yang jelek kentara), titenana wong cidra mangsa langgenga (perhatikan orang curang takkan abadi) dan sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti (keberanian, kekuatan, dan kejayaan dunia hancur oleh kebaikan) menunjukkan bahwa eksistensi dan esensi moralitas dijunjung tinggi dalam budaya Jawa. Kebanyakan agama yang universal juga mengajarkan sikap hormat terhadap kehidupan manusia.
Sepi ing pamrih adalah kesediaan untuk tidak menomorsatukan diri sendiri, rame ing gawe adalah kesediaan untuk melakukan apa saja yang menjadi kewajiban tanpa menentukan apa yang menjadi kewajiban itu. Ciri kedua dari dua keutamaan formal itu adalah bahwa intinya terdapat pada kesediaan untuk membatasi serta menyesuaikan diri dengan harapan-harapan masyarakat. Orang yang sepi ing pamrih tidak lagi mempertahankan haknya untuk mengusahakan tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingannya sendiri, baik yang bersifat bukan moral maupun yang bersifat moral. Orang yang rame ing gawe bersedia untuk memenuhi apa saja yang menunjukkan diri sebagai kewajiban pangkat dan kedudukannya. Dua-duanya menuntut agar bukan kehendak seseorang yang menjadi penentu sikapnya, melainkan harapan masyarakat.
Dalam etika Jawa dapat ditemukan dua keutamaannya yang justru berfungsi untuk mengimbangi sikap seperti sepi ing pamrih dan rame ing gawe, yaitu tuntutan untuk mengambil sikap moral sendiri dan keberanian moral. Yang pertama menuntut agar orang jangan pernah menelan begitu saja apa yang oleh pihak luar lingkungan sosial, adat istiadat, negara, ideologi dikemukakan sebagai kewajiban moral; Yang kedua, menuntut agar orang bersedia untuk mempertahankan sikap yang sudah sadari sebagai kewajiban dan apabila dicela oleh pihak lain.
Pamrih merupakan bahaya kedua yang harus diperhatikan orang. Bertindak karena pamrih berarti hanya mengusahakan kepentingan sendiri individualnya saja dengan tidak menghiraukan kepentingan-kepentingan masyarakat. Secara sosial pamrih itu selalu mengacau karena merupakan tindakan tanpa perhatian terhadap keselarasan sosial. Pamrih sekaligus memperlemah manusia dari dalam, karena siapa yang mengejar pamrihnya memutlakkan keakuannya sendiri. Dengan demikian ia mengisolasikan dirinya sendiri dan memotong diri dari sumber kekuatan batin yang tidak terletak dalam individualitasnya yang terelosasi, melainkan dalam dasar numinus yang mempersatukan semua kekakuan pada dasar jiwa mereka. Ia mencari kepentingan-kepentingan dalam dunia dan dengan demikian mengikat diri pada alam luar sehingga ia kehilangan kesanggupan untuk memusatkan kekuatan batin dalam dirinya sendiri. Pamrih terutama kelihatan dalam tiga nafsu, yaitu selalu mau menjadi orang pertama atau nepsu menange dhewe, menganggap diri selalu betul atau nepsu benere dhewe dan hanya memperhatikan kebutuhannya sendiri atau nepsu butuhe dhewe. Sikap-sikap lain yang tercela adalah kebiasaan untuk menarik keuntungan sendiri dari setiap situasi tanpa memperhatikan masyarakat atau aji mumpung.
                              2.             WAYANG SEBAGAI SARANA MENUMBUHKAN MINAT DAN BAKAT ANAK
Kata tumbuh bermula dari sesuatu yang telah ada dan menjadi milik kita. Sesuatu yang menjadi milik manusia tersebut berupa harta kultural yang telah dimiliki oleh manusia tersebut sejak lahir. Harta tersebut diperoleh dari pendidikan dalam keluarga, lingkungan dan masyarakat. Minat adalah keadaan seseorang terhadap suatu hal. Dalam hal ini minat anak kepada sesuatu, sementara apakah anak tersebut berbakat atau mempunyai talenta tertentu terhadap sesuatu. Sesuatu yang dimaksudkan adalah harta kultural tersebut. Apabila bakat dan minat tersebut digabungkan kemudian dibantu dengan dorongan dari orang tua maka ia akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan si anak tersebut. Hal itu akan menjadikan anak tersebut mempunyai kemampuan tambahan atau kemampuan khusus di bidang selain pendidikan formalnya.
Sementara itu potensi wayang tersebut kemudian diberdayakan untuk menumbuhkan minta dan bakat dengan berbagai cara.
1.      Mendekatkan wayang sebagai lingkungan belajarnya. Lingkungan belajar yang dimaksud adalah adalah lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Upaya pendekatan pada lingkungan belajar anak berarti upaya mendekatkan pada budayanya, artinya anak dikembalikan pengolahannya atau pendidikannya pada konteks budayanya. Pada pendidikan keluarga, orang tua memegang peranan yang besar. Oleh karena itu biasanya orang tua yang senang kepada wayang, dengan menyediakan dan sering mendengarkan siaran radio atau kaset wayang, melihat pertunjukan wayang baik pertunjukan langsung maupun pertunjukan melalui audio visual. Orang tua memajang aneka media bisa berupa gambar tokoh-tokoh wayang, pethilan suatu peristiwa dalam pertunjukan wayang, serta menyediakan aneka buku bacaan cerita wayang.
2.       Melalui pembiasaan budaya juga bisa dilakukan dengan melalui pembiasaan yang diungkapkan melalui ungkapan-ungkapan bahasa, dan sitiran dari ajaran cerita pewayangan yang terungkapkan melalui ungkapan-ungkapan bahasa, dan sitiran dari ajaran cerita pewayangan yang terungkapkan melalui dialog-dialog pembicaraan sehari-hari. Pembiasaan budaya akan lebih baik bila disertai dengan pembiasaan berbahasa Jawa dalam keluarga, terutama pada keluarga yang berbahasa ibu bahasa Jawa.
3.      Dapat dilakukan dengan cara memprioritaskan wayang sebagai hiburan dalam keluarga.
4.      Dapat dilakukan dengan cara mengajarkan secara khusus baik melalui pendidikan formal yang tertuang dalam kurikulum pendidikan formal tingkat dasar maupun menegah, atau pada pendidikan non formal seperti kursus dan sanggar. Pada pendidikan formal mengacu makalah dari Suminto A Sayuti (2005), menggali dan menanamkan kembali wayang sebagai budaya lokal lewat pendidikan dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas bangsa, dan semacam filter dalam menyeleksi pengaruh budaya luar. Pendidikan non formal yang dimaksud seperti misalnya mengikutkan anak kursus nembang, karawitan, pedalangan, dst.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar