Selasa, 02 Desember 2014

Ajaran Samin



Wong Samin Penganut Agama Nabi Adam yang Anti-poligami

Blora, kota kecil yang menyimpan sejarah Samin, ‘mungkin’ sering jadi bahan cemoohan. Desa Klopo Duwur yang terletak di Kecamatan Banjarejo, Blora, Jawa Tengah tempat masyarakat Samin tinggal.
Dalam sebuah kesempatan beberapa pekan yang lalu, penulis singgah pada komunitas ini, komunitas samin yang enggan di bilang wong Samin mereka lebih suka disebut “Sedulur Sikep”. Dulu, komunitas wong samin ini sangat tertutup. Tapi, seiring dengan arus modernitas mereka mulai terbuka terhadap informasi-informasi yang masuk, TV, radio, tape menghiasi rumah mereka.
Masyarakat Samin berkembang dan tumbuh di Klopo Duwur adalah salah satu bentuk perlawanan sikap terhadap pemerintah Belanda. Bahkan, masyarakat Samin ini enggan membayar pajak pada waktu itu. Dahulu memang Saminisme sangat tertutup dalam hidupnya. Mereka tidak mudah percaya kepada orang lain yang dianggap asing. Mereka lebih percaya pada diri sendiri. bentuk-bentuk perlawanan yang sering diimplementasikan komunitas samin ini dengan mbangkang (membangkang), nggendeng nyangkak adalah wujud dsri bentuk perlawanan tanpa kekerasan.

Menurut salah seorang samin yang penulis temui, istilah Samin berarti ‘tiyang sami-sami amin”, maksudnya kelompok orang yang senasib dan sepenanggungan. Munculnya nama Samin berasal dari gerakan gerombolan rampok Saminisme yang dipimpin oleh Surowidjoyo atau Raden Suratmoko.
Raden Surowidjoyo ini anak seorang bupati Suromoto. Ia merasa prihatin melihat bangsanya dipaksa membayar pajak dengan kekerasan oleh pemerintah kolonial, sedangkan penarik pajak tersebut tak lain adalah kaum pribumi yang bekerja pada pemerintah kolonial.
Pajak yang harus dibayar pada para petani cukup tinggi, jika ia tidak dapat membayar sebagai gantinya para petani itu harus menyerahkan harta bendanya berupa ternak, makanan pokok, maupun barang keperluan rumah tangga. melihat perilaku bangsa pribumi yang menjadi antek Belanda, Raden Surowidjoyo pergi ke Kadipaten dan bergabung dengan gerombolan perampok. Gerombolan perampok itu bernama Tiyang sami-sami amin.
Orang-orang samin sebenarnya kurang suka dengan sebutan ‘Wong Samin”, sebab sebutan tersebut mengandung arti tidak terpuji yaitu dianggap sekelompok orang yang tidak mau membayar pajak, sering membantah dan menyangkal aturan yang telah ditetapkan, sering keluar masuk penjara, sering mencuri kayu jati dan perkawinannya tidak dilaksanakan menurut hukum islam.
Para pengikut Saminisme lebih suka disebut “Wong Sikep” atau “Sedulur Sikep”, artinya orang yang bertanggung jawab, sebutan untuk orang yang berkonotasi baik dan jujur.
Dari penuturan seorang warga yang penulis temui, ajaran saminisme mulai pertama kali disebarkan oleh Samin Surosentiko, seorang pangeran. Nama Samin adalah nama samaran dari Raden Kohar bangsawan, guru kebatinan yang mempunyai nama samaran Suro Kuncung menurut serat punjer kawitan. Raden Kohar ini adalah salah satu dari lima bersaudara Raden Surowidjoyo, sesepuh Samin.
Paham Saminisme dinamakan juga “Agama Nabi Adam”, sebab ajaran Saminisme yang terwariskan hingga kini sebenarnya mencuatkan nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan, kebersamaan, keadilan, dan kerja keras.
Pertama, ojo drengki srei, tukar padu, dahwen kemiren, kutil jumput, lan mbedog colong. Artinya, jangan berhati jahat, bertengkar, iri hati, dan mencuri.
Kedua, pangucap budhelane ono pitu, lan pangucap saka sanga bundhelane ana pitu.

Maksudnya, perkataan dari angka lima ikatannya ada tujuh, dan perkataan dari angka sembilan ikatannya ada tujuh. Maksud dari simbol itu agar manusia memelihara mulut dari tutur kata tak berguna dan menyakitkan hati.
Ketiga, lakonana sabar atau jalani hidup dengan sabar.
Orang Samin juga punya acuan figur bernama Puntadewa. Raja Amarta di dunia pewayangan merupakan tipikal orang sabar, jujur, pantang berbohong, selalu berkata apa adanya. Tak heran bila hingga saat ini wayang kulit masih menjadi tontonan favorit dalam komunitas ini.

Dalam hal mata pencaharian misalnya, mereka hanya menggeluti pekerjaan petani, menggembala sapi atau kambing. Atau sesekali nyambi menjadi tukang ojek. Pekerjaan berdagang, menurut paham Saminisme sangat dijauhi karena lebih dekat dengan kebohongan.
Bahkan ada sebuah cerita, saat sesepuh Wong Samin ini diinterogasi polisi hutan gara-garanya rumah miliknya dibangun dari kayu curian. Ketika rumah itu akan disita, dia dengan enteng menjawab, “boleh disita, tapi berikan pada kami”. Petugas pusing juga. Rumah itu akan dirobohkan. “Boleh, tapi semua rumah harus dirobohkan, termasuk milik Pak Presiden”.
Generasi Samin masa kini telah lama menjalani perilaku wong sikep (sebutan suku samin) selama ini, yang mengajarkan agar jangan menyakiti orang lain kalau tidak ingin disakiti, harus saling hormat menghormati sesama manusia di dunia, dan jangan pernah mengambil apapun yang bukan haknya. Juga, beberapa ajaran lain yang mengikat masyarakat agar tidak berbuat kejahatan.
San realitanya hingga saat ini, tepo sliro (rasa saling menghormati) dan tingkat kerukunan masyarakatnya memang tinggi. Mereka biasa saling membantu dalam keadaan apapun.
Kalaupun ada pencurian dalam komunitas ini, Wong Samin hanya mengambil kayu jati, itupun hanya sebatas untuk kayu bakar karena nenek moyang mereka dahulu ikut menanam jati di hutan tersebut. ajaran Samin ada 3 yaitu, angger-angger pangucap (hukum bicara), angger-angger pratikel (hukum tindak tanduk), dan angger-angger lakonono (hukum perihal yang perlu dijalankan). Semetara konsep ajaran Samin yang diikuti pengikut ada 6, diantaranya tidak bersekolah, tidak memakai peci tetapi memakai iket yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala mirip orang Jawa zaman dahulu, tidak berpoligami, tidak memakai celana panjang dan hanya memakai celana selutut, tidak berdagang, dan menolak segala bentuk kapitalisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar